Pernah Diusir Dari Kontrakan, Kini Beromzet Rp. 2,8 M Per Bulan
Menjadi pengusaha beromzet miliaran rupiah tak harus menunggu
tua. Rangga Umara membuktikannya. Lelaki 31 tahun itu kini mengantongi
2,8 miliar per bulan dari bisnis makanan. Mantan karyawan sebuah
developer itu meraih sukses dengan menulis keinginannya dalam dream
book.

Sebuah
mobil Toyota Fortuner hitam berpelat nomor B 17 ELA berhenti di
pelataran parkir gerai Pecel Lele Lela di Jalan Dewi Sartika, Cawang,
Jakarta Timur, Kamis lalu (2/6/2011). Fortuner tersebut terasa istimewa
dengan nomor polisi spesial. Rangga Umara, bos Pecel Lele Lela, keluar
dari mobil itu. “Hampir semua mobil saya, huruf belakangnya ELA.
Kan sesuai sama jualannya, Lela,” ujar Rangga, lantas tersenyum.
Pengusaha muda itu sehari-hari selalu tampil segar dan wet look.
Rambutnya ditata bergaya spike. Dia mengenakan kemeja dengan satu
kancing teratas tidak dikancingkan dan celana jins. Jenggotnya pun rapi.
“Penampilan juga harus diperhitungkan.
Masak,
mentang-mentang pengusaha, terus penampilannya acak-acakan. Kita harus
memantaskan diri kita juga,” kata dia, lantas tersenyum.
Pecel Lela merupakan usaha yang dikembangkan oleh Rangga sejak 2007.
Saat ini dia sudah memiliki 32 cabang di Bandung dan Jakarta. Dia
menarget, sebelum bulan puasa, delapan cabang lagi akan berdiri.
Omzetnya kini mencapai Rp 2,8 miliar per bulan. “Total akan ada 40
cabang sebelum masuk Ramadan,” tutur dia.
Nama Lela bukan nama kakek, orang tua, atau saudara Rangga. Lela
adalah akronim dari lebih laku atau lebih laris. “Itu bisa menjadi doa
juga,
kan,” ucap dia.
Rangga memulai usaha tersebut saat masih berusia 27 tahun. Saat itu
dia menggeluti bisnis tersebut sebagai sampingan. Sebab, dia sudah punya
pekerjaan rutin di bagian marketing communication sebuah developer
apartemen. Karena masih sampingan, usaha tersebut tidak terlalu optimal.
Namun, ayah Razan Muhammad Ichsan, 4, dan Ghanny Adzra Umara, 2, itu
tetap mempunyai impian bahwa suatu saat dirinya akan berfokus di usaha
tersebut.
Keinginan Rangga terjawab. Developer tempatnya bekerja seret order.
Sejumlah karyawan terancam pemutusan hubungan kerja (PHK). Rangga
termasuk karyawan yang berada dalam daftar PHK. “Sebelum di-PHK,
mending saya keluar,” ungkap dia.
Rangga akhirnya keluar. Padahal, saat itu dia sudah punya tanggungan.
Yakni, istri dan anak pertamanya. Namun, dia tetap nekat membuka usaha.
Sebab, menurut dia, usaha adalah satu-satunya jalan untuk menjadi kaya.
Jadi karyawan apa pun, ungkap dia, tidak bisa menjadikan seseorang
kaya.
Masa-masa awal membuka usaha adalah “masa-masa berdarah” bagi Rangga.
Sebab, saat itu dia belum benar-benar memahami bisnis. Semuanya
dilakukan dengan belajar seadanya. Mulai mendatangkan koki, menggambar
logo Pecel Lele Lela, hingga mengelola keuangan.
Pada masa-masa awal, satu gerai Pecel Lele Lela menghasilkan
keuntungan bersih sampai Rp 3 juta. Namun, karena banyaknya pengeluaran
kecil, keuntungan itu tak terasa. Keuangan keluarga justru minus.
Sampai-sampai Rangga bersama istri, Siti Umairah, dan anaknya diusir
keluar kontrakan karena tidak kuat bayar.
“Saat itu saya pulang ke rumah kontrakan malam-malam. Ternyata, di
luar sudah banyak barang. Di situ ada tulisan dari istri, katanya dia
diusir dari kontrakan. Dia mengungsi ke rumah mertua bersama anak saya,”
ucap dia.
Kejadian tersebut betul-betul memukul Rangga. Sampai-sampai mertua
menegur karena Rangga dianggap tidak mampu membahagiakan anaknya. “Saya
mengevaluasi total semua usaha saya,” tegas lulusan STMIK Bandung
tersebut.
Keluarga Dulu, Baru Bisnis
Sejak saat itu, Rangga mengubah persepsinya. Sebelumnya, dia selalu
mengesampingkan urusan keluarga dengan alasan bisnis. Bukan hanya urusan
membayar uang kontrakan, tapi juga perhatian dan waktu. Logika yang dia
pakai saat itu terbalik. “Keluarga tetap yang pertama, setelah itu baru
bisnis. Kalau kita sukses mengelola keluarga, bisnis akan ngikut,” ucap
dia.
Setelah itu, Rangga membenahi semua manajemen rumah makannya.
Apalagi, saat itu dia bertemu dengan salah seorang teman lama yang
bekerja di sebuah waralaba internasional bidang ayam goreng. Dia
memberikan banyak saran kepada Rangga. “Dulu tidak ada biaya konsultasi.
Dia cuma saya kasih uang transpor,” ungkap dia.
Rangga kemudian belajar tentang banyak hal dari rekannya itu. Secara
perlahan, bisnisnya mulai tumbuh. Dia juga memberikan waktu lebih untuk
keluarga. Saat keuntungan satu cabang belum optimal, dia memberanikan
diri membuka gerai-gerai lain.
“Kalau satu cabang belum untung, jangan takut buka cabang lain. Satu
cabang tidak untung, itu bisa disebabkan lokasi, orang-orang di cabang
tersebut, dan lain sebagainya. Bisa jadi cabang yang rugi akan ditopang
cabang lain,” beber dia.
Usaha Rangga mengalami titik balik. Sukses membenahi manajemen,
keuntungan-keuntungan mulai diraup. Menurut Rangga, kunci membuka usaha
adalah manajemen efektif. Banyak warung atau rumah makan yang
kelihatannya ramai, tapi ternyata keuntungannya sedikit, bahkan “uangnya
tidak kelihatan”. Mereka yang mengurusi manajemen harus orang yang
paham tentang manajemen rumah makan.
Karena itu, Rangga merekrut sejumlah pegawai waralaba rumah makan
untuk mengelola cabang-cabangnya. Dari 32 cabang yang dia miliki, 50
persen kepala cabang dijabat eks manajer waralaba terkenal tersebut.
General manager operasional dan direktur operasional juga didatangkan
dari waralaba itu. Memang ongkosnya lebih mahal. “Tapi, berbanding lurus
dengan efisiensinya,” papar dia.
Rangga menuturkan, salah satu kuncinya adalah dream book. Itu adalah
buku yang berisi tulisan tentang impian-impian yang dia raih. Di buku
tersebut, dia tuliskan obsesi, ambisi, sampai capaian-capaian yang ingin
diraih. “Saya menulis sejak kuliah,” ungkap dia.
Di buku itu, dia sebutkan apa pun keinginannya. Mulai ingin seperti
apa usahanya di masa depan hingga target keuntungan. Dream book tersebut
tidak kaku dipraktikkan, bahkan bisa selalu direvisi atau di-update
sesuai dengan kondisi terkini. Yang penting, dream book harus konkret
dan logis. “Jangan konyol-konyolan. Misalnya, ingin mobil Mercy, tapi
tidak ditulis caranya bagaimana. Ingin usaha kayak apa atau income
berapa,” ucap dia.
Rangga mengatakan, menulis dream book memang tampak sepele. Namun,
itu justru sangat efektif untuk membentuk semangat dan menarik
sinyal-sinyal positif di sekitarnya agar impiannya tercapai. “Dalam
penelitian selama sepuluh tahun di Harvard University, mereka yang
menulis keinginan dalam buku memiliki penghasilan sepuluh kali lebih
besar daripada yang tidak,” terang dia.
Selain itu, imbuh Rangga, menulis keinginan memengaruhi otak bawah
sadar untuk mewujudkannya. Syaratnya, tulisan tersebut harus tulisan
tangan. Bukan ketikan di komputer atau laptop, kemudian dicetak.
“Diketik boleh, tapi setelah itu harus ditulis ulang,” tegas dia.
(c11/nw) ***
0 comments: